Selasa, 22 Desember 2015

Bukan Sekedar Terlambat [cerpen]


Pada suatu zaman, ada sebuah desa yang mengalami kekeringan begitu parah. Para pemuda di desa itu hilir mudik berkelana untuk mencari persediaan air untuk kelangsungan hidup warga desa.
Namun berbeda dengan si Osim pemuda malas yang kerjanya hanya menunggu, dan menikmati air hasil kerja keras pemuda-pemuda lain. Ia juga merupakan seorang anak dari salahsatu tetua di desa itu. Suatu hari ia pergi ke pemandian dan mengantri untuk mandi. Antrian itu begitu panjang dam membuat Osim kesal. Ketika kejenuhan melanda, Osim sedikit melangkahkan kaki mengendap-endap kedepan untuk mencuri antrian. Namun tak sengaja ia bertabrakan dengan seorang wanita.
“Oh, tuan Osim yang terhormat. Saya tahu Ayah anda adalah tetua di Desa ini. Tapi maaf tuan, Apakah tuan tidak kasihan dengan Kakek dan Nenek tua yang sudah berjam-jam mengantri. Dan budak seperti saya yang sudah sangat lelah, pulang dari negri sebrang mencari persediaan air, dicuri antriannya oleh keegoisan tuan.” Si wanita itu berbicara dengan hormat.
“Tidak, beraninya kau bicara begitu.” Osim berbicara dengan keras sambil menampar pipi si Wanita, kemudian si Osim berlari meninggalkan antrian dan pulang dengan rasa bersalah. Warga desa lain yang melihat membantu wanita tersebut, dan menyoraki Osim.
                Osim termenung dikamarnya dan berpikir hingga berhari-hari. Dalam hati Osim berkata “Pemuda macam apa aku ini, menampar wanita yang tak berdosa, mencuri antrian Nenek dan Kakek yang malang, dan mengutamakan nafsuku, dengan sewenang-wenang, padahal aku hanya seorang anak tetua desa biasa.”

                Osim akhirnya pergi keluar rumah dan mencari-cari wanita tersebut untuk meminta maaf. Ia mencari ke pasar, ke hutan, ke sungai yang kering, tapi ia tidak menemukannya. Dan akhirnya ia menemukan rumah tua di hulu sungai, dan membuatnya penasaran. Kemudian ia masuk kedalam rumah itu, dan menjelajahi setiap ruang didalam rumah itu. Dan akhirnya ia menemukan sebuah ruangan yang berisi seorang bapak-bapak yang renta terbaring lemas di tempat tidur yang begitu kecil. Kemudian bapak-bapak itu memalingkan wajahnya , dan betapa terkejutnya Osim ketika melihat wajah bapak itu begitu mirip dengan ayahnya. Kemudian seseorang wanita masuk, dan berteriak “Siapa Kamu?, Untuk apa kamu disini?.” Kemudian Osim berpaling, dan terkejutlah wanita itu saat tahu di gubuknya kedatangan Osim.
                “Oh maaf, ternyata tuan Osim. Apa gerangan yang membuat anda melangkahkan kaki masuk ke gubuk yang reot ini?.” Ucap si wanita.
                “Aku sudah lama mencari anda, aku ingin meminta maaf, dan biarlah aku bayar berapapun keegoisanku yang membuat anda dan warga desa kesal.” Ucap Osim sambil mengeluarkan uang disakunya.
                “Tuan, sejak saat itupun saya sudah memaafkan tuan. Tapi maaf tuan, mungkin warga desa akan sulit memaafkan tuan bila sikap tuan tidak berubah.” Balas si wanita.
                “Terus, apa yang harus saya lakukan.” Ucap Osim.
                “Sakit hati tidak bisa dibayar dengan uang, tapi mungkin sakit hati dapat dibayar dengan kebaikan. Okelah, saya akan bantu tuan, ikutlah tuan bersama saya berkelana ke negri sebrang untuk mengambil persediaan air untuk warga desa.” Ucap wanita tersebut.
                “Memang itu berguna?, tapi okelah akan saya coba. Ngomong-ngomong siapa nama anda?.” Tanya Osim.
                “Nama saya Dila Fepula tuan, kita berangkat besok pagi.” Jawab Wanita itu.
                “Dila, bukankah nama Dila itu satu marga denganku? Tapi baiklah, saya pulang dulu untuk mempersiapkan perbekalan untuk dibawa berkelana esok hari.” Ucap Osim sambil pergi.
                Keesokan harinya mereka berdua berangkat, sepanjang jalan mereka saling membantu, dan saling bercerita. Dan pada suatu waktu Fepula bercerita bahwa sebenarnya Ayahnya yang terbaring di rumah tuanya adalah saudara kembar dari Ayah Dila Osim. Namun karena sejak remaja Ayahnya sudah tidak sehat, kemudian Ayah Fepula mengasingkan diri dari desa. Namun sebenarnya Ayah Dila Osim masih berusaha membantu ayah Fepula, namun ayah Fepula bersikeras karena tidak ingin memalukan keluarga Dila. Dengan amat terkejut Osim berkata :
                “Apa? Jadi artinya kita saudara. Kenapa aku tidak tahu? Aku sungguh sangat malu dengan ayahmu yang mengorbankan dirinya untuk nama baik Dila, sementara saya dengan egoisnya sewenang-weanang di desa dan mungkin amat merusak nama baik Dila.” Ucap Dila.
                “Maaf, sebenarnya ini merupakan sebuah rahasia yang tidak boleh dibicarakan apalagi kepadamu anak dari Paman Dila Dese. Tapi saya mohon anda bisa menyimpan rahasia ini kan?.”  Ucap Dila Fepula dengan lembut,
                “Baiklah, tapi kita kan saudara, jadi janganlah kamu berbicara kepada saya layaknya orang yang jabatannya begitu tinggi. Baiknya kamu panggil namaku saja.” Jawab Osim.
                “Baiklah, terimakasih.” Ucap Fepula.
                Perjalanan begitu berat dan melelahkan, namun semua tak terasa karena diperjalanan mereka isi dengan candaan, dan ceritaan yang membuat mereka merasa senang. Hingga akhirnya mereka kembali tiba di desa dengan selamat. Namun alangkah terkejutnya mereka ketika mereka melihat hujan yang sudah kembali turun di desa. Hingga akhirnya membuat Fepula sedih dan amat merasa bersalah kepada Osim, yang sudah berjuang untuk mendapatkan air, dan ternyata ketika kembali lagi ke desa, bak-bak air sudah terisi dengan air hujan yang begitu jernih. Dila Osim pun amat sangat sedih, karena tujuannya tidak tercapai.
                Namun dibalik itu ada hal lain yang didapat, yaitu kekeluarga, Kebersamaan, dan persahabatan yang mungkin takkan tergantikan. Dan akhirnya Dila Osim dan Dila Fepula hidup behagia sebagai saudara, dan yang terpenting mereka bahagia karena masing-masing dari mereka mempunyai teman untuk saling mencurahkan keluh kesah, berbagi kesedihan, dan yang utama adalah berbagi kebahagiaan.

"Terkadang kebahagiaan didapat bukan karena hasil yang menghebohkan, tapi terkadang kebahagiaan didapat dari proses yang memberatkan." 

Maaf bila gambar kurang jelas, lagi males ngegambar hehehe..........

Miftah Sholehudin, Desember 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar